Membangun
Pendidikan Berkarakter
Pengumuman kelulusan ujian nasional (UN) selalu menghadirkan dua sisi emosional
yang sangat kontras. Di satu sisi, hampir sebagian besar pelajar yang
mendapatkan kelulusan terutama di kota besar merayakannya dengan sukaria dan
hura-hura berlebihan. Mulai konvoi kendaraan beramai-ramai hingga
mencoret-coret baju seragam.
DI lain pihak, para pelajar yang tidak lulus menangis sejadi-jadinya, hingga
tak jarang kita dapatkan berita percobaan bunuh diri karena frustrasi. Dua sisi
perilaku pelajar kita seperti ini sangat disayangkan. Dunia pendidikan
seharusnya jauh dari bingkai kejadian seperti di atas. Semestinya pendidikan
mampu menciptakan karakter pelajar dengan pemikiran logis dan mampu membentuk
insan-insan terdidik dengan emosi cerdas.
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas disebutkan sebuah alasan
dibentuknya sebuah pemerintahan negara Indonesia yaitu "Untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa"
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerdas itu bermakna sempurna
perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan lainnya); tajam
pikiran. Di sini jelas, ada dua elemen yang disebutkan yaitu akal dan budi.
Akal tentu merujuk pada hal intelektualitas. Sedangkan budi merujuk perilaku,
moral, dan karakter. Bahkan terkait pendidikan ini, amandemen keempat UUD 1945
lebih spesifik menjelaskan dalam bab 13 pasal 31 ayat 3: "Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".
Sangat jelas cita-cita dan semangat UUD atas pendidikan kita. Yakni bukan
sekadar pembentukan intelektualitas semata. Tapi juga budi pekerti luhur-akhlak
mulia. Namun dalam taraf pelaksanaannya ada yang salah. Sehingga, pendidikan
kita kehilangan orientasi yang seharusnya. Tetapi hanya sebatas output hasil
semata berupa angka-angka.
Orientasi yang salah inilah menjadikan bangsa kita tidak kunjung bangkit dari
keterpurukan permasalahan. Penyakit akut kemiskinan dan korupsi terus
menggelayuti masa depan bangsa kita. Sebab, pendidikan kita terjebak dalam
orientasi pragmatis sehingga tergiur untuk mencapai tujuan dengan cara-cara
praktis.
Kecerdasan intelektual diraih namun mental para anak bangsa kering dan hampa
tanpa karakter. Erie Sudewo dalam bukunya Character Building (2011) secara
gamblang menggambarkan betapa pentingnya elemen karakter. Ia menyatakan
"Tanpa karakter, manusia pun bisa unggul dengan kapasitas dan
kapabilitasnya. Namun semakin dia cerdas, semakin tinggi kedudukannya, dan
semakin kaya, maka semakin jahatlah dirinya. Sebab orang yang unggul tanpa
karakter, yang muncul adalah tabiatnya. Sifat-sifat buruknya sebagai
perilaku sehari-hari".
Selama ini sekolah formal semacam SMP dan SMA selalu menjadi tujuan utama orang
tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan sekolah-sekolah nonformal
semacam asrama dan pondok pesantren selalu menjadi pilihan terakhir. Dengan
alasan-alasan yang cukup lumrah dan manusiawi, pondok pesantren mendapatkan
predikat sebagai sebuah lembaga pendidikan yang kolot, kumuh, dan jauh dari
kemajuan jaman.
Ada berbagai kelebihan dan kekurangan yang masing-masing dimiliki oleh sekolah
nonformal dan pondok pesantren. Sekolah formal cenderung menghasilkan
lulusan-lulusan yang melek terhadap dunia luar dan memiliki output
intelektualitas yang lebih, namun cenderung hampa karakter.
Sebaliknya, alumni pondok pesantren cenderung memiliki karakter yang kuat,
namun gagap terhadap perkembangan dunia luar, dan kemampuan intelektualitasnya
di bawah sekolah formal. Dan, kenyataannya adalah selama ini sekolah formal
tidak mampu mengemban tugas untuk memberikan kebutuhan pendidikan karakter
kepada para pelajar.
Mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan pun semakin tahun kian
berkurang porsinya. Hal yang semakin membuat miris adalah selain asupan mata
pelajaran tersebut semakin sedikit, para pendidik pun tak mampu menerapkan
nilai-nilai moral dalam setiap interaksi nyata terutama pada
pertemuan-pertemuannya di kelas.
Setiap pertemuan di kelas para guru cenderung hanya sekadar menunaikan
kewajiban menyampaikan materi dan abai terhadap nilai. Setelah selesai
menyampaikan mata pelajaran, maka interaksi antara guru dan murid pun berakhir
sampai saat itu juga. Proses pembangunan emosional antara guru-murid nyaris tak
ada. Padahal proses pembentukan emosional dan pembentukan karakter hanya bisa
dilakukan melalui interaksi masif yang bukan sekadar basa-basi. Hal inilah yang
justru ada di dunia pondok pesantren.
Perkara teknis pengimplementasian amanat UUD inilah yang seharusnya ditekankan
oleh pemerintah terutama Kementerian Pendidikan. Pemerintah harus mampu
menggabungkan metode pembelajaran antara pendidikan nonformal pondok pesantren
dengan pendidikan formal modern.
Sehingga, pendidikan kita tidak hanya sekadar penanaman intelektualitas semata.
Tetapi juga penanaman karakter. Dengan begitu, kenakalan-kenakalan pelajar bisa
segera terhapus dan tumbuhlah pelajar-pelajar yang cerdas nan santun.
0 comments:
Post a Comment