Nabi
Ayub adalah seorang yang memiliki harta kekayaan yang berlimpah,
istri-istri yang cantik jelita, hewan ternak yang sehat dan
beranak-pinak, serta tanah yang amat luas. Ia hidup bahagia dengan
istri-istrinya tanpa kurang suatu apa pun. Masyarakat sekitarnya banyak
yang memuji Nabi Ayub karena kesuksesannya, ketaatannya dalam beribadah,
ketekunannya dalam berdakwah, dan rasa cintanya kepada Allah.
Pepatah mengatakan, semakin tinggi dan besar seorang hamba, semakin
besar pula ujian yang akan diterimanya. Ibarat pohoh, semakin tinggi
pucuknya maka semakin dahsyat pula tiupan angin yang menerpanya.
Demikian pula Nabi Ayub, karena ia adalah sosok nabi yang memiliki iman
di atas rata-rata manusia biasa maka tingkat ujiannya lebih berat pula.
Sekalipun demikian, Allah tidak akan menimpakan suatu musibah terhadap
seseorang melebihi kemampuannya untuk menerimanya.
Allah SWT
menguji Nabi Ayub dengan dua macam musibah, yaitu harta benda dan
penyakit kulit. Ujian pertama yang diterimanya berupa hilangnya seluruh
harta bendanya hingga ia berubah menjadi miskin. Akan tetapi, melihat
kenyataan itu, Ayub mengatakan,
“Musibah datangnya dari Allah
SWT dan aku harus mengembalikan kepada-Nya. Allah telah memberiku nikmat
selama beberapa masa. Maka segala puji bagi Allah atas segala nikmat
yang diberikan-Nya dan aku persilakan Allah untuk mengambil
nikmat-nikmat itu kembali. Bagi-Nya pujian sebagai Dzat Pemberi dan
Pengambil. Aku ridha dengan keputusan Allah SWT. Dialah yang
mendatangkan manfaat dan mudharat. Dialah yang ridha dan Dialah yang
murka. Dia adalah Penguasa yang memberikan kerajaan kepada siapa pun
yang dikehendaki-Nya, dan mencabut kerajaan dari siapa pun yang
dikehendaki-Nya. Dia memuliakan siapa pun yang dikehendaki-Nya dan
menghinakan siapa pun yang dikehendaki-Nya.”
Setelah berkata
demikian, Nabi Ayub bersujud. Melihat sikap Nabi Ayub tersebut, Iblis
tampak tercengang. Allah juga menguji Ayub melalui anak-anaknya.
Ujian untuk Nabi Ayub tidak berhenti sampai di sana saja. Allah juga
menguji Nabi Ayub melalui anak-anaknya. Semua anak-anaknya meninggal
dunia akibat musibah gempa. Dalam keadaan demikian, Nabi Ayub berkata,
“Allah memberi dan Allah mengambil. Maka bagi-Nya pujian saat Dia
memberi dan mengambil, saat Dia murka dan ridha, saat Dia mendatangkan
manfaat dan mudharat.” Selanjutnya, Ayub bersujud kepada Allah SWT.
Iblis kembali dibuat tercengang oleh kekuatan iman Nabi Ayub.
Setelah melewati dua ujian berat, Allah kembali mengujinya dengan
penyakit kulit yang sangat parah. Kulitnya membusuk hingga istrinya pun
merasa jijik kepadanya. Ia memiliki beberapa istri, tapi hanya satu
orang yang mau bersabar dan setia mendampinginya. Atas kesabarannya
tersebut, Allah telah memberikannya anugerah untuk menemani Nabi Ayub
kelak di akhirat.
Berbagai cobaan berat yang telah menerpa Nabi
Ayub, membuatnya semakin sedih. Namun, ia masih tetap bersabar
menjalaninya bersama satu istrinya yang masih setia menemaninya. Beliau
masih tetap memuji Allah dan bersyukur atas segala nikmat yang dulu
pernah dianugerahkan kepadanya.
Di lain pihak, amarah setan
semakin memuncak menyaksikan besarnya keimanan dan kesabaran Ayub.
Setan hampir kehabisan akal untuk menggoda Nabi Ayub agar meninggalkan
Allah karena musibah-musibah tersebut. Hingga pada akhirnya ia menemukan
cara baru untuk menggoda kesabaran Ayub melalui istrinya, sebagaimana
ia telah menggoda Adam melalui Hawa untuk memakan buah Khuldi yang
terlarang.
Akhirnya, godaan setan pun mulai merasuki istri Nabi
Ayub hingga ia mulai putus asa dengan keadaan suaminya. Ia berkata
kepada Nabi Ayub, “Sampai kapan Allah akan menyiksamu? Di manakah harta,
keluarga, teman, dan kaum kerabatmu? Di mana masa kejayaanmu dan
kemuliaanmu dulu?”
Mendengar keluh kesah istrinya, Nabi Ayub
berkata, “Sungguh engkau telah dikuasai oleh setan. Mengapa kamu
meratapi kemuliaan masa lalu dan anak yang telah meninggal dunia?”
Istrinya balik bertanya, “Mengapa engkau tidak memohon kepada Allah
agar menghilangkan berbagai macam cobaan hidupmu, menyembuhkanmu, serta
menghilangkan kesedihanmu?”
Nabi Ayub kembali bertanya, “Berapa lama kita merasakan kebahagiaan?”
“Kurang lebih delapan tahun,” jawab istrinya.
Ayub melanjutkan pertanyaannya, “Berapa lama kita mendapat penderitaan?”
Sang istri menjawab, “Tujuh tahun.”
Mendengar jawaban itu Nabi Ayub berkata, “Aku malu jika aku meminta
kepada Allah SWT agar menghapuskan penderitaanku ketika aku melihat masa
kebahagiaanku yang lebih lama.”
Karena penderitaan demi
penderitaan yang ditanggungnya tidak kunjung berakhir, Nabi Ayub pun
ditinggalkan istrinya. Sekalipun demikian, Nabi Ayub tetap istiqomah dan
terus bersabar melawan derita dan godaan iblis, tanpa berpaling sedikit
pun dari Allah SWT.
Atas kesabaran Nabi Ayub yang telah
ditanamkannya dalam hati dengan penuh keimanan, Allah memberinya pujian
dan menempatkannya di sisi Allah dengan derajat yang tinggi. Allah telah
berfirman di dalam Al-Qur`an memuji kesabaran Nabi Ayub,
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah
sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS.
Shad: 44).
0 comments:
Post a Comment